Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa pembahasan masalah baiat
merupakan pembahasan yang luas dan panjang lebar. Dibutuhkan penjelasan
tentang pengertian baiat menurut istilah yang biasa dikenal, berapa
macam-macamnya, apa arti sebenarnya, apa yang dimaksud dengan baiat
tersebut, apa hikmah yang terkandung dengan meletakkannya di atas manhaj
ini, dengan apa baiat itu wajib, atas siapa baiat diwajibkan, syarat-syarat
Karena pembahasannya besar dan pelik sekali, maka kami akan meringkasnya
pada dua permasalahan penting yang menjadikan kebingungan dan perselisihan
yang dahsyat atas kaum muslimin, yaitu : "Kepada siapakah baiat itu wajib ?
Apakah baiat itu boleh kepada setiap individu?". Adapun masalah-masalah yang
lain bukan di sini tempatnya untuk membahasnya.
Kami mulai pembahasan ini dengan definisi baiat secara etimologi maupun
terminologi. Baiat secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual
beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji
setia dan taat. Dan kalimat "qad tabaa ya'uu 'ala al-amri" seperti ucapanmu
(mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). Dan mempunyai arti :
"shofaquu 'alaihi" (membuat perjanjian dengannya). Kata-kata "baaya'tahu"
berasal dari kata "al-baiy'u" dan "al-baiy'atu" demikian pula kata
"al-tabaaya'u". Dalam suatu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
'Ala tubaa yi'uunii 'ala al-islami'
"Maukah kalian membaiatku di atas Islam"
Hadits di atas seperti suatu ungkapan dari suatu perjanjian. seakan-akan
masing-masing dari keduanya menjual apa yang ada padanya dari saudaranya
dengan memberikan ketulusan jiwa, ketaatan dan rahasianya kepada orang
tersebut. Dan telah berulang-ulang penyebutan kata baiat di dalam hadits.[2]
Bai'at Secara Istilah (Terminologi).
"Berjanji untuk taat". Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian
kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya
dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu
mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam
keadaan suka atau terpaksa.
Jika membaiat seorang amir dan mengikat tali perjanjian, maka manusia
meletakkan tangan-tangan mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat
perjanjian, sehingga menyerupai perbuatan penjual dan pembeli, maka
dinamakanlah baiat yaitu isim masdar dari kata baa 'a, dan jadilah baiat
secara bahasa dan secara ketetapan syari'at.[3]
Dan ba'iat itu secara syar'i maupun kebiasaan tidaklah diberikan kecuali
kepada amirul mukminin dan khalifah kaum muslimin. Karena orang yang
meneliti dengan cermat kenyataan yang ada baiat masyarakat kepada kepala
negaranya, dia akan mendapati bahwa baiat itu terjadi untuk kepala
negara[4]. Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada musyawarah dari
sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal 'aqdi.
Sedang baiat selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti baiat
mereka [5]
Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan/membicarakan tentang baiat,
baik yang berisi aturan untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang
meninggalkannya.[6] Berupa hadits-hadits yang sulit untuk menghitung maupun
menelitinya. Tetapi yang disepakati ialah bahwa baiat yang terdapat di dalam
hadits-hadits ialah baiat kolektif dan tidak diberikan kecuali kepada
pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan khilafah (pemerintah)
Islam sesuai dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah [7]
Dibawah ini saya bawakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang baiat secara
ringkas.
[a]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang bejanji setia kepadamu, mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka
barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat melanggar janji itu akan
menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka
Allah akan memberi pahala yang besar" [Al-Fath : 10]
[b]. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa
yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan
memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)"
[Al-Fath : 18]
Di dalam as-Sunnah, diantaranya.
[a] "Artinya : Barangsiapa mati dan dilehernya tidak ada baiat, maka sungguh
dia telah melepas ikatan Islam dari lehernya" [Dikeluarkan oleh Muslim dari
Ibnu Umar]
[b]. "Artinya : Barangsiapa berjanji setia kepada seorang imam dan
menyerahkan tangan dan yang disukai hatinya, maka hendaknya dia menaati imam
tersebut menurut kemampuannya. Maka jika datang orang lain untuk
menentangnya, maka putuslah ikatan yang lain tersebut" [Dikeluarkan oleh
Muslim dan Abu Dawud dari Abdillah bin Amr bin Ash]
[c]. "Artinya : Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang
terakhir dari keduanya" [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Sa'id]
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lainnya.
Salah seorang imam yang agung, Ahmad bin Hanbal, imam Ahlu Sunnah
wal-Jama'ah ditanya tentang riwayat dari hadits kedua yang tersebut di atas.
Di dalamnya terdapat kata imam. Beliau menjawab :"Tahukah kamu, apakah imam
itu ? Yaitu kaum muslimin berkumpul atasnya, dan semuanya mengatakan :
"Inilah imam", maka inilah makna imam"[8]
Al-Imam Al-Qurthubi berkata [9] :"Adapun menegakkan dua atau tiga imam dalam
satu masa dan dalam satu negeri, maka tidak diperbolehkan menurut ijma"
Kemudian setelah hilangnya kekhalifahan, terjadilah perbedaan yang sangat
tajam tentang ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut. Doktor Abdul Muta'al
Muhammad Abdul Wahid mengatakan : "Ketiadaannya imam adalah menjadi sebab
munculnya kelompok-kelompok yang mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak
dibaiat dan menjadi imam. Kelompok-kelompok ini bisa diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok yang mendasar, yaitu :
[1]. Kelompok Pertama
Mengatakan : "Sesungguhnya orang yang meninggalkan baiat adalah kafir". Lalu
mereka menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak
membaiatnya adalah kafir menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar,
sebab Ali bin Abi Thalib -salah seorang yang diberi kabar akan masuk surga-
beliau tiadak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih setengah tahun[10], dan
tidak seorang sahabatpun yang mengatakan tentang kekafirannya selama beliau
meninggalkan baiat.
[2]. Kelompok Kedua
Mengatakan :"Sesunguhnya baiat adalah wajib, barangsiapa yang meniggalkannya
berarti dosa". Dari sinilah mereka menetapkan seorang amir bagi diri-diri
mereka, sehingga gugurlah dosa-dosa tadi dari mereka ketika membaiatnya.
Padahal yang benar adalah bahwa dosa meninggalkan baiat tidak menjadi gugur
dengan cara membaiat amir tersebut. Karena baiat yang wajib dan berdosa
orang yang meninggalkannya ialah baiat terhadap imam (pemimpin) muslim yang
menetap di bumi dan menegakkan khhilafah Islamiyyah dengan syarat-syarat
yang benar [11]
[3]. Kelompok Ketiga adalah mereka (kaum muslimin) yang tidak membaiat
seorangpun.
Mereka mengatakan : "Sesungguhnya meninggalkan baiat adalah berdosa, tetapi
baiat adalah hak seorang pemimpin muslim yang tinggal di bumi (walau)
kenyataannya tidak ada di masa sekarang". Menurut keyakinanku, kelompok
ketiga inilah yang berada di atas kebenaran" [12]
Dan diantara hal yang menguatkan kebatilan baiat-baiat istitsnaiyyah
(pengecualian) yang merupakan perkara baru tentang baiat kepada Amirul
Mukminin -walaupun di kala tidak ada Amirul Mukminin- terdapat dalam
keterangan para ulama rahimahullah, yaitu disyariatkan dalam baiat
berkumpulnya Ahlul Halli wal Aqdi, lalu mereka membentuk keimanan bagi
seorang yang memenuhi syarat-syaratnya [13]
[Disalin dari kitab Al-Bai'ah baina as-Sunnah wa al-bid'ah 'inda al-Jama'ah
al-Islamiyah, edisi Indonesia Bai'at antara Sunnah dan Bid'ah oleh Syaikh
Ali Hasan Ali Abdul Hamid, terbitan Yayasan Al-Madinah, penerjemah Arif
Mufid MF.]
0 komentar:
Posting Komentar