Ta'aruf Sebelum Menikah

Terkadang, dengan niat awal ta’aruf, sebagian pria terjebak dalam aksi-aksi yang menjurus ke bentuk pacaran yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Pertama diawali dengan bertemu muka, dan mengobrol seadanya, dengan ditemani mahram. Lalu pertemuan itu diulang hingga beberapa kali, dengan alasan untuk semakin mengenal pasangannya. Lalu kemudian berlanjut dengan pertemuan-pertemuan tanpa ditemani mahram. Awalnya hanya memperbincangkan hal-hal serius, yang betul-betul penting. Namun, kemudian mereka ngobrol betulan, mulai merambah ke hal-hal yang tidak
penting. Memang, masih dengan mengenakan hijab, namun… terjadilah saling memandang dan kadang juga berdua-duaan yang sangat diharamkan itu. Mereka juga tidak berniat pacaran, tapi akhirnya terjebak juga dalam simbol-simbolnya.
Hal-hal yang terjadi di luar kesadaran, biasanya relatif terkesan natural, sehingga kesan mengalirnya lebih jelas, dan membuat orang lupa memikirkan berbagai hal. Tapi sudah seharusnya setiap muslim dan muslimah tetap ingat bahwa ta’aruf adalah proses menuju pernikahan. Sementara pernikahan itu adalah lembaga yang suci. Setiap hal yang suci harus dimulai dari kesucian. Kalau saat memulainya saja seseorang sudah berani melanggar aturan-aturan Allah, maka bagaimana rumah tangga yang akan tercipta, dari gaya ta’aruf seperti itu? dalam hadits disebutkan, Sesungguhnya Allah menyukai hal-hal yang luhur dan mulia, serta membenci hal-hal yang rendah dan hina. (HR. Thabrani, dishahihkan al Albani)
Mata kita mungkin saja digelapkan oleh gemerlap dunia, keindahan syahwat, atau hiburan nafsu. Tapi persoalannya, kita masih punya iman. Nurani kita amat mengetahui kecenderungan nafsu yang mulai merambati jiwa kita. Naluri jahat bisa saja membungkus dosa dan maksiat dengan jubah kebenaran, menutupi kekeliruan dan kesalahan dengan selimut syariat Yang Maha Bijaksana. Tapi fitrah dan nurani yang sehat, yang masih berisi iman, selalu saja mengetahui tipu daya itu. Hanya persoalannya, kita mengabaikannya atau tidak.
Yang sering terjadi, sebagian kita mengabaikan begitu saja peringatan hati nurani tersebut. Kita sudah mengetahui batasan yang ada, tapi sengaja kita tabrak. Kita sudah tahu adab dan etika dalam ta’aruf, etika dan aturan Islam terhadap lawan jenis yang bukan mahram, yang baru saja hendak kita ajak berkenalan sebagai calon pasangan kita, tapi kemudian kita abaikan semua etika itu.
Bagi kalangan muda-mudi, mengobrol dengan lawan jenis memang seringkali menggoda. Bahkan bukan hanya muda-mudi. Sebagian kalangan yang sudah cukup umur tapi terlambat menikah pun, atau bisa jadi orang yang beristri dan ingin mengenal wanita lain sebagai calon keduanya, ternyata juga sering tergoda untuk menikmati obrolan dengan wanita yang bukan mahramnya tersebut.
Pada saat ini, ngobrol dengan sang calon juga tak musti harus saling berjumpa, namun bisa pula dilakukan dengan lewat telepon atau sms, biasanya juga diawali dari hal-hal sederhana, namun akhirnya berkembang, mulai ada gelombang ombak, kejutan-kejutan, bahkan obrolan yang seringkali mengobarkan hasrat birahi. Akhirnya, tiada hari tanpa sms si dia. Sekadar menanyakan, “Sudah shalat belum?” “Kalau capek bobok dulu ya…”. Sampai ungkapan, “Ku sayang padamu…”. Sebenarnya, hal itu tidak pantas terjadi dalam proses pernikahan pra nikah, yang katanya dipandu dengan dasar-dasar syariat.
Maksud hati hanya ingin mengenal lebih jauh, justru mereka terjebak untuk bermaksiat lebih jauh. Tawaran maksiat itu terlalu indah untuk dinikmati, terutama bila hati sudah tertembus panah iblis. Berbagai alasan bisa saja digulirkan untuk setidaknya mengaburkan kesan-kesan dosa pada aksi-aksi tersebut. Seolah-olah segala aksi maksiat itu akan begitu saja terabaikan, selama niat dan tujuan adalah baik, selama keinginannya adalah menikah dengan cara yang disyariatkan, dengan wanita yang dianggap “shalihah”. Bukankah itu disebut al-ghayatul tubarrirul wasilah (tujuan yang baik itu bisa menghalalkan segala cara)?. Itu adalah motto kalangan modernis dan sekuler [yang diadopsi dari donaturnya Zionis Yahudi].
Tentu mereka-yang sudah tahu hukumnya- tidak berniat seperti itu. Ini hanya soal begitu mudahnya seseorang tergoda maksiat, ketika tawaran-tawatan maksiat itu begitu memikat hati, apalagi kalau sudah soal hubungan dengan lawan jenis. Tapi akan menjadi sangat ironis ketika itu terjadi dalam penerapan sebuah kebiasaan yang dianggap paling sesuai denga panduan syariat. Sungguh merupakan kenyataan yang ironis, jika itu terjadi, saat kita sedang berhadapan dengan budaya-budaya multidemensional, gaya hidup yang sudah terkotori kaum kafir, dan kita datang dengan alternatif budaya Islam, yang salah satunya diwakili oleh ta’aruf. Jangan biarkan kebiasaan baik ini ternoda oleh aplikasi kebablasan itu.
Dikutip dari buku Ta’aruf Dulu, Baru Menikah, Ustadz Abu Umar Basyier.

0 komentar:

Posting Komentar